Minggu, 16 Agustus 2009

"V"





Saya bisa merasakan degub jantung yang berdetak cepat melewati saraf-saraf pada telapak tangan saya. Sebuah refleksi impuls saraf simpatik yang mengantarkan pesan menuju otak belakang sebagai alarm tubuh yang menjelaskan bahwa saat ini saya sedang gelisah. Perut saya mual. Telapak tangan saya berkeringat. Kedua belah kaki saya bergerak cepat tak terkendali, hingga tanpa saya sadari menimbulkan sebuah getaran kecil. Bahkan saya menggigit bagian bawah bibir ini saat sebuah lampu kecil berwarna oranye dihadapan saya menyala dan seolah-olah berkata “Sudahkah kau kencangkan sabuk pengaman yang melilit pada pinggangmu?”. Sontak saya pastikan sabuk pengaman yang melingkar dipinggang saya sudah terikat dengan kencang.



“Kamu boleh pegang tanganku ketika kita take off.”, lelaki yang duduk disebelah kiri saya menawarkan bantuan moril dengan media salah satu bagian fisiknya yang boleh saya pinjam sejenak. “Sampai kita landing pun tak apa. Kamu remaspun tak masalah.” Lanjutnya sambil tersenyum mengejek.



“Eh kamu tau, saya tidak pernah takut terbang”, jawab saya perlahan setelah menggenggam tangannya.



“Apa yang sih yang tidak ku tau dari dirimu?”, tanyanya dengan nada berbisik, tanpa sedikitpun menjawab tatapan mata saya yang mengarah kepadanya. “Empat tahun bukanlah waktu yang singkat untuk mengenal seseorang, dan kamu tahu itu...”



Dia hanya menunjuk kearah jendela kecil yang berbentuk segi empat tak bersudut disebelah kirinya, lalu saya pun melempar tatapan mata saya ke arah jari telunjuknya. Saya bisa merasakan pesawat ini bergetar semakin keras. Sayapnya semakin jauh meninggalkan daratan. Sementara saya hanya mampu menggenggam tangan laki-laki itu sekuat-kuatnya.



Secepatnya saya memalingkan pandangan dari arah jendela, lalu beralih menatap bagian belakang kepalanya, menelusuri rambut ikalnya yang terikat rapi hingga sebuah titik kecil kehitaman pada lehernya yang bersih terlihat jelas. Sepertinya, tidak banyak orang yang mengetahui keberadaan tahi lalat dilehernya itu. Atau mungkin hanya saya yang tahu? Selain orang tuanya tentu saja, sebab saya sering mengikatkan rambutnya, atas nama kerapihan.



**



Saya masih disini. Duduk dibalik selimut tebal ditemani secangkir hazelnut cappucino dan beberapa potong donut yang disiapkan dimeja sebagai menu sarapan pagi. Sinar matahari menyeruak masuk melalui tirai-tirai jendela lalu merayap melewati tubuh yang masih enggan beranjak dari tempat tidur.



“Bukannya kamu sudah janji akan memotong rambutmu jika kamu diterima kerja? Kenapa hingga saat ini belum kamu lakukan?”, tanya saya disebuah pagi, tepat seminggu setelah ia mendapat pekerjaan pertamanya.



“Hari jum'at saja!”, jawabnya singkat dari balik pintu kamar mandi. “Kamu mau kan menemaniku setelah pulang kerja hari jum'at nanti?”. Setelah itu hanya suaranya yang sedang menggosok gigi serta air yang mengalir deras yang mampu saya dengar.



Dia memang senantiasa membiarkan saya terlibat dalam segala hal yang ia lakukan dalam hidupnya. Bahkan dalam hal-hal kecil, seperti pergi memangkas rambut misalnya. Tapi sampai hari inipun, saya masih melihat rambutnya panjang. Bahkan poninya yang terakhir saya lihat masih belum mampu di ikat, kini mampu ia tarik kebelakang, hingga seluruh bagian rambutnya bisa terikat.



Saya menebak dia sudah memotong rambutnya, namun tidak memangkasnya hingga pendek. Mungkin karena ia tidak bisa memutuskan sendiri model rambut seperti apa yang cocok untuknya jika dipotong pendek. Belakangan ini memang saya terlalu sibuk dengan urusan saya sendiri, hingga saya tidak sempat mencuri waktu dan pergi menemaninya memangkas rambut.



**



“Kenapa sampai sekarang rambutmu masih panjang?”, tanya saya setelah lama berdiam diri hingga badan pesawat tak lagi bergetar kencang. Tanda wajib mengenakan sabuk pengaman pun telah padam, namun saya memutuskan untuk tetap mengenakannya. Ia menoleh, kemudian perlahan mendekatkan wajahnya ke arah saya.



“Mana mungkin kupotong jika tidak denganmu.”, jawabnya dengan nada berbisik. “Kamu tahu, membeli kemeja adalah hal terakhir yang saya lakukan tanpa ditemani dirimu. Dan hasilnya, bahkan temanku yang terkenal dengan selera fashionnya yang buruk pun masih bisa mengatakan bahwa kemeja yang aku beli itu jelek!”



Mau tidak mau saya tersenyum mendengar pengakuannya. Meski saya sendiri belum melihat langsung kemeja yang ia maksud. Jemarinya kini makin rapat mengisi sela-sela jemari saya, hingga saya bisa merasakan cincin yang tersemat di jari manis saya menekan kulit. Saya rogoh pelan-pelan bagian dalam tas yang tergeletak di pangkuan dengan satu tangan, kemudian mengeluarkan sebuah kartu undangan segi empat berwarna cokelat dengan hiasan kecil diujungnya.



“Bagus?”, tanya saya sembari menunjukkan kartu itu padanya. Dia hanya menggeleng pelan, padahal dia tidak sama sekali melihat ke arah kartu undangan yang berada ditangan saya. Padahal, biasanya ia tidak pernah mengatakan tidak bagus pada sesuatu yang saya pilih.



“Jika kamu bertanya mengenai design atau kombinasi warna, sudah pasti pilihanmu itu bagus di mataku. Aku percaya apapun yang kau kenakan dalam acara itu pasti cocok untukmu. Gaun pengantin warna putih yang kamu tunjukkan kemarin itu juga anggun, meski aku tak ikut memilihkannya untukmu. Cincin yang melingkar di jari manismu itupun indah, meski aku tidak benar-benar menyukainya. Bahkan kartu ini juga menarik, karena warnanya adalah warna kesukaan kita.”



Tiba-tiba saya merasa ada sesuatu yang buruk yang akan dikatakannya. Saya mencoba melepaskan genggaman tanganku dari tangannya, namun ia tak mau melepaskannya.



“Tapi besok, gaun pengantin berwarna putih itu akan menjadi buruk dimataku, karena bukan aku yang berada disampingmu saat kamu mengenakannya.”, ucapnya dengan nada yang tidak lagi berbisik. Kini nadanya meninggi. “Cincin itu menjadi tidak indah lagi, karena bukan aku yang memakai pasangannya. Dan undangan itu menjadi sama sekali tak menarik, karena bukan namaku yang tertulis didalamnya!”



**



Tanda untuk mengenakan sabuk pengaman sudah kembali menyala. Perjalanan 1 jam 45 menit kami hampir berakhir. Lelaki yang duduk disebelah kanan saya masih lelap tertidur. Sebelum pesawat take off, ia memang sudah lelap tertidur karena terlalu lelah menyiapkan segala hal untuk pernikahannya esok. Energinya terkuras, karena terlalu bersemangat mempersiapkan hari bahagianya.



Saya tidak mempunyai niat untuk membangunkannya, apalagi membiarkannya melihat kalau bukan tangannya yang saya pegang disaat saya dilanda takut terbang. Bahkan lelaki yang duduk disebelah kanan saya ini tidak tahu, bahwa sedari tadi saya dilanda ketakutan. Takut yang sebenarnya bukan karena takut terbang, namun takut untuk menghadapi hari esok. Takut menghadapi pernikahan yang akan kujalani dengan laki-laki yang duduk disebelah kanan saya. Takut melihat wajahnya bahagia pada hari yang paling ditunggunya, tapi justru saya hancurkan dikemudian hari, entah kapan.



Tiba-tiba saya merasakan lelaki yang duduk disebelah kanan saya terbangun. Kursinya bergerak, dan saya melihat ia sedang melemaskan otot-ototnya.



“Kamu sakit?”, tanya lelaki disebelah kanan saya. “Wajahmu pucat”, saya hanya bisa menggeleng lalu tersenyum padanya. Sementara lelaki disebelah kiri saya terlihat memilih untuk melihat keluar badan pesawat melalui jendela disampingnya.



“Vic, nanti malam jadi potong rambut?”, lelaki disebelah kanan saya menoleh kearah kiri sambil menyondongkan tubuhnya kearah depan, seolah ia ingin membuat lelaki yang duduk disebelah kiri saya tanggap atas pertanyaannya. Namun pertanyaannya hanya dijawab dengan anggukan tanpa sedikit pun ia menoleh kearah lelaki disebelah kanan saya.



“Biar aku yang antar”, saran saya kemudian. “Kamu istirahat saja”, lelaki disebelah kanan saya hanya menjawab dengan anggukan sebagai tanda setuju atas saran saya.



Kali ini saya menggenggam erat jemari lelaki yang duduk disebelah kanan saya pada saat pesawat landing. Tetapi lelaki yang duduk disebelah kiri saya pun ikut menggenggam jemari saya., keringat yang membasahi telapak tangannya saat ini seolah menyampaikan sebuah ketakutan. Saya bisa merasakan cincin yang tersemat di jari manis tangan kanannya menekan jari saya. Cincin di jari kami saling beradu.



**



Saya berpisah dengan lelaki yang duduk disebelah kiri saya selepas keluar dari pintu kedatangan bandara. Ia memilih untuk tinggal di hotel dengan alasan rumah tidak cukup luas untuk menampungnya. Sementara saudara-saudaranya yang lain juga menginap di rumah.



“Vic, aku serius soal potong rambut tadi.”, kata lelaki yang duduk disebelah kanan saya ketika lelaki disebelah kiri saya hendak masuk kedalam taksi.



“Nanti aku kabari, Mas.”, jawabnya datar.



Sementara saya sedang sibuk mengetik pesan pada telepon genggam saat lelaki disebelah kiri saya masuk kedalam taksi lalu meninggalkan bandara. Tak lama kemudian telepon genggam saya bergetar pelan dan membawa satu pesan singkat.



Segera kuceraikan istriku dan segera menikahimu!



Sender:

V

+6285247510063



Sent: 15-08-2009

16:23:29



Satu pesan singkat balasan yang kuterima setelah saya mengirimkan pesan singkat yang mengatakan : Aku hamil.






Tidak ada komentar:

Powered By Blogger